Spyder Man


ShoutMix chat widget

Jumat, 06 Agustus 2010

Sakitnya diJajah

  Rakyat di Nusantara yang hidup pada masa penjajahan dalam waktu yang lama (lebih dari 350 tahun) serta perjuangan mereka menentang penjajahan, dapat dijadikan bahan studi yang menarik. Dan untuk mengenangnya tidaklah cukup hanya dengan mendirikan tugu-tugu dan monument-monumen, yang selanjutnya perlu dirawat secara rutin dan dilestarikan.

    Semua peristiwa dijaman penjajahan merupakan kejadian tragedi kemanusiaan yang sangat menyedihkan. Dan untuk mengenangnya tidaklah cukup hanya dengan melaksanakan kegiatan “mengheningkan cipta” pada setiap tujuh belasan (yang hanya berlangsung sejenak dan sepintas), yang selanjutnya perlu dijadikan tradisi nasional dan dibudayakan.

    Mengenang peristiwa dijaman penjajahan yang telah dialami rakyat ini, tidaklah cukup hanya untuk bernostalgia, atau hanya untuk mengingatnya kembali lembaran lama, tetapi lebih dari itu, untuk lebih peka berempati dan dapat merasakan dan menghayati suasana dan keadaan rakyat pada masa itu, antara lain :

1.     Merasakan betapa sakitnya dan pedihnya, diperlakukan tidak manusiawi dan menerima perlakuan di luar batas, dengan kerja paksa, kerja rodi, romusha yang disertai tindakan semena-mena dan sewenang-wenang.

2.     Merasakan betapa sakitnya dan terperangahnya, tiba-tiba masuk penjara dan disiksa, karena disangka dan dituduh membantu para ektrimis. (para ekstrimis adalah para pejuang kemerdekaan)

3.     Merasakan betapa sakitnya dan tidak percayanya, dengan adanya keputusan hukum yang berbeda-beda, dan mendapatkan perlakuan yang berbeda di muka pengadilan. Dalam kasus yang sama, seperti mencuri seekor ayam, ada yang dihukum 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan, 2 bulan, bahkan ada yang dihukum sampai 2 tahun.

4.     Merasakan betapa sakitnya dan memuakkannya, dibatasi kesempatan berusaha (bagi pribumi), dipersulit semua urusan yang berkenaan dengan pemerintahan atau birokrasi, dan mengurusnya selalu bertemu dengan para petugas yang bersikap garang dengan wajah angker.

5.     Merasakan betapa sakitnya dan sengsaranya diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, yang dikurangi berbagai haknya, anak pribumi tidak boleh bersekolah, kurang mendapatkan pelayanan kesehatan yang sewajarnya, dan hanya mendapatkan pelayanan yang minimal dalam semua bidang.

6.     Merasakan betapa sakitnya dan hancurnya, mengalami banyaknya permusuhan, perselisihan, dan perpecahan, bahkan pembunuhan. Semua itu disebabkan banyaknya orang yang terhasut oleh penjajah, sehingga menjadi kaki tangan mereka dan memusuhi bangsanya sendiri, sukunya sendiri, masyarakatnya sendiri, sanak keluarganya sendiri, dan teman-temannya sendiri.

7.     Merasakan betapa sakitnya dan prihatinnya, melihat rakyat yang selalu menjadi bulan-bulanan atau pesakitan, jika salah sedikit langsung dihukum. Tukang sado yang memecut kudanya dihukum, orang yang membawa ayam terbalik dengan memegang kaki ayam ke atas dihukum dan sebagainya. Semua itu bertujuan membuat rakyat semakin tidak percaya pada diri sendiri dan semakit takut kepada para penjajah.

8.     Merasakan betapa sakitnya dan menyayangkannya, menyaksikan perubahan tingkah laku dari sebagian besar anak-anak bangsawan yang berpendidikan, yang bertingkah laku mirip “londo”. Semua ini terjadi karena mereka “dicekoki” untuk lebih mencintai kemewahan, kemegahan dan glamor kehidupan; dari pada lebih mencintai kemerdekaan, keadilan, kedamaian, dan kemanusiaan.

9.     Merasakan betapa sakitnya dan tersiksanya, sebagai pribumi dan ahli waris tanah air ini, diperlakukan sebagai seorang warga dunia yang tidak bernegara, dianggap tidak punya hak, yang hanya selalu menjadi parasit pada pemerintahan kolonial yang ada.

      Berbincang-bincang  tentang jaman penjajahan, ada sebagian orang mengatakan, bahwa pada masa penjajah tidak pernah ada kelaparan, kebanjiran atau bencana alam, semua perencanaan tata kota sangat baik, semua barang serba murah dan kehidupan lebih senang dibandingkan masa kemerdekaan sekarang, yang semakin kesini semakin sulit. Ini adalah ungkapan yang jujur dari orang-orang yang “dekat” dengan para pejabat pemerintahan kolonial.

     Satu semboyan yang menjadi tekad akhir dari seluruh rakyat Indonesia dalam menentang penjajahan, yang yang merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi, yakni : “MERDEKA ATAU MATI”, karena seluruh rakyat menyadari bahwa penjajahan tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.

     Dengan mengenang  penjajahan di Indonesia,  membuat semua orang yang berfikir,  merenung sejenak, untuk lebih mawas diri dan introspeksi, dan timbul pertanyaan : apakah kita termasuk orang yang tidak peduli dengan semua tugu dan monument karena tidak mengerti nilai sejarahnya? Bagaimana yang terbaik dalam kita berbuat dan bersikap  terhadap bangsa ini, negara ini, rakyat ini?

0 komentar:

Posting Komentar

gombal amoeh © 2008. Design by :Areg La Sponsored by: Tutorial87 Commentcute